Tangerang, Januari 2025 – Di balik kilauan proyek ambisius di pesisir Tangerang, terkuak kisah tragis tentang ribuan nelayan yang kehilangan akses ke laut mereka sendiri. Pembangunan pagar laut sepanjang lebih dari 30 kilometer, yang diduga dibangun oleh pihak swasta, menjadi pusat kontroversi besar. Tanpa izin pemanfaatan ruang laut (IPRL), proyek ini dianggap merampas ruang publik dan melanggar hak dasar masyarakat pesisir.
Investigasi Kasus Pagar Laut di Tangerang: Simbol Kesenjangan Antara Kepentingan Korporasi dan Hak Rakyat
- Latar Belakang
Kasus pemasangan pagar bambu sepanjang 30 kilometer di pesisir laut Tangerang, Banten, telah menjadi simbol kesenjangan antara kepentingan korporasi dan hak masyarakat lokal. Pagar tersebut diduga merupakan bagian dari upaya ilegal untuk mengklaim dan menguasai wilayah laut demi kepentingan bisnis besar.
- Penemuan Awal
Pada Akhir tahun 2024, masyarakat dan pemerhati lingkungan melaporkan keberadaan pagar laut ini ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Investigasi yang dilakukan oleh KKP bersama TNI Angkatan Laut (AL) dan Polairud mengungkap bahwa lebih dari 270 bidang lahan di area laut tersebut telah diterbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB). Hal ini menimbulkan tanda tanya besar karena hukum Indonesia melarang pemberian hak atas wilayah perairan laut.
- Pemilik HGB
Berdasarkan sertifikat HGB pada wilayah ini diduga dikuasai oleh sejumlah perusahaan besar dengan koneksi politik yang kuat. Pemilih dari HGB adalah :
- PT Intan Agung Makmur menjadi pemilik mayoritas SHGB pagar laut Tangerang sebanyak 234 dari total 263 bidang. PT tersesebut beralamat di Jl. Inspeksi PIK2 Nomor 5 (Terusan Jalan Perancis), Kabupaten Tangerang, Banten
- PT Cahaya Inti Sentosa, yaitu sebanyak 20 bidang.berdasarkan data Administrasi Hukum Umum (AHU) menunjukkan, PT Cahaya Inti Sentosa beralamat di Kawasan 100 Blok C Nomor 6, Jalan Kampung Melayu Timur, Kabupaten Tangerang, Banten. Serta dikutip dari laporan situs Bursa Efek Indonesia (BEI), PT Cahaya Inti Sentosa terafiliasi PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI), PT PANI bertanggung jawab terhadap pembangunan proyek PIK2. Berdasarkan dokumen undangan yang dibagikan BEI, nama PT Cahaya Inti Sentosa terlampir dalam surat pemanggilan rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPS) PANI tertanggal 9 Agustus 2023.
- Kronologi Peristiwa
- 2023-2024: Pemasangan pagar dimulai secara bertahap .
- Awal Januari 2025: Aktivis dan masyarakat setempat melaporkan keberadaan pagar tersebut ke KKP. Investigasi resmi pun dimulai, diiringi liputan media yang luas.
- 15 Januari 2025: KKP menyegel area tersebut dan memulai penyelidikan mendalam. Tim investigasi menemukan kejanggalan dalam proses penerbitan HGB.
- 20 Januari 2025: Proses pembongkaran pagar bambu dimulai oleh TNI AL, Polairud, Bakamla , pmerintah setempat dan juga dibantu Bersama nelayan setempat. Dalam waktu bersamaan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) menyatakan bahwa sertifikat HGB di wilayah tersebut terdapat adanya kekeliruan dan akan diajkuan pembatalan melalui hukum yang berlaku.
- Dampak pada Masyarakat Lokal
menyoroti bagaimana kasus ini telah memarginalkan masyarakat pesisir. Pemasangan pagar laut telah:
- Menghalangi akses nelayan kecil ke wilayah laut untuk menangkap ikan.
- Nelayan terpaksa mengeluarkan biaya bahan bakar lebih besar karena harus memutar. Hasil tangkap menurun karena waktu perjalanan lebih panjang dan daerah tangkap terusik pagar laut..
- Proses Hukum dan Tindak Lanjut
Hingga akhir Januari 2025, sebagian besar pagar bambu telah dibongkar. Pemerintah menyatakan komitmennya untuk mencabut seluruh HGB yang diterbitkan secara ilegal. Beberapa pemilik perusahaan dan pejabat terkait telah dipanggil untuk dimintai keterangan. Proses hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat masih berlangsung.
- Simbol Kesenjangan dan Pelajaran Penting
Kasus pagar laut di Tangerang tidak hanya menjadi contoh pelanggaran hukum tetapi juga simbol ketimpangan kekuasaan antara korporasi besar dan rakyat kecil. Regulasi yang ada perlu diperkuat untuk melindungi hak-hak masyarakat pesisir dan mencegah eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan.
- Pendapat
Pagar laut di Tangerang mencerminkan banyak persoalan mendasar dalam pengelolaan sumber daya alam dan tata ruang di Indonesia. Berikut adalah beberapa pendapat terkait kasus ini:
- Simbol Kesenjangan Sosial dan Ekonomi
Pagar ini secara nyata menjadi penghalang bagi masyarakat pesisir, khususnya nelayan kecil yang bergantung pada akses bebas ke laut untuk mata pencaharian. Ini mencerminkan ketimpangan besar antara kekuatan korporasi dan masyarakat lokal yang seharusnya dilindungi oleh negara. - Kelemahan Regulasi dan Pengawasan
Penerbitan Sertifikat HGB di area perairan laut menunjukkan adanya celah besar dalam pengawasan pemerintah terhadap regulasi lahan. Hukum yang melarang pemberian hak atas wilayah laut sudah jelas, tetapi praktik seperti ini menunjukkan kurangnya penegakan hukum yang tegas. - Kerusakan Lingkungan
Pemasangan pagar tidak hanya merampas hak akses masyarakat lokal tetapi juga merusak ekosistem laut dan pesisir. Kerusakan mangrove dan habitat biota laut adalah ancaman jangka panjang yang sulit diperbaiki. - Kebutuhan Reformasi Tata Kelola
Kasus ini menggarisbawahi perlunya reformasi besar-besaran dalam pengelolaan tata ruang di Indonesia. Pemerintah harus meningkatkan transparansi, menutup celah hukum, dan memastikan kolusi antara pejabat pemerintah dan korporasi besar dihentikan.